makalah pendekatan konseling behavioristik


TUGAS MATA KULIAH
MODEL – MODEL KONSELING I








“ PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORISTIK
Nama anggota                : Anisah (1114500069)
                                         Indra Yudha Wijaya (1114500084)
                                                  Tifana Maheswary P.S (1114500060)
Kelas                              : BK/4D
Dosen Pengampu           : Pramana Adiwiguna M.Pd

BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                           UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 
2016


Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Model-model Konseling I.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu yang kami sajikan berdasarkan referensi dari beberapa informasi,buku. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan bermanfaat bagi pembaca untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya bagi para mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal. Penyusun sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah penyusun di masa yang akan datang dan mengaharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penyusun






Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan............................................................................................ 1
A.    LatarBelakang..................................................................................... 1     
B.     RumusanMasalah................................................................................ 2
C.     Tujuan................................................................................................. 2
Bab II Pembahasan............................................................................................ 4
A.    Landasan Historis konsep Behavioristik..............................................4
B.     Hakekat Manusia Menurut Pendekatan Behavioristik.........................5
C.     Hakekat Konseling Behavioristik.........................................................6
D.    Tujuan Konseling Behavioristik...........................................................7
E.     Karakteristik Behavioristik..................................................................9
F.      Peran dan Fungsi Konselor Behavioristik............................................11
G.    Hubungan Konselor dengan Konseli dalam Pendekatan Behavioristik..11
H.    Tahap Konseling Behavioristik............................................................12
I.       Teknik-teknik Konseling Behavioristik................................................21
J.       Kelebihan dan Keterbatasan Konseling Behavioristik.........................16
K.    Asumsi Perilaku Bermasalah Behavioristik.........................................16
L.     Contoh Kasus dan Penanganannya......................................................18
M.   Ciri Khusus Konseling Behavioristik...................................................20
Bab III Penutup............................................................................................... 21
A.    Saran................................................................................................. 21
B.     Kesimpulan....................................................................................... 21
DaftarPustaka.................................................................................................. 22




BAB I
PENDAHULUAN
a.   Latar Belakang
Pendekatan konseling behavioral ini berhubungan dengan skinner, Pavlov yang mana pada penemuan itu selalu mengembangkan yang namanya stimulus dan respon. Pada tahun 1927 penerjemahan karya Pavlov kedalam bahasa Inggris mendorong pengambil alihan pendekatan behavioristik dalam mempelajari psikologi amerika serikat.
Salah satu study yang paling penting adalah hal ini adalah yang dilakukan oleh Wathson dan Ray yang menggunakan seorang anak kecil membuktikan bahwa rasa takut itu dipelajari.
Konseling behavioristik membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling.
Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh freud. Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Pendekatan behavioral tidak mengesampingkan pentingnya hubungan klien/terapis atau potensi klien untuk membuat pilihan-pilihan.
Hakekat konseling menurut Behavioral adalah proses membantu orang dalam situasi kelompok belajar bagaimana menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan pengambilan keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri untuk mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Tujuan konseling behaviour adalah untuk memperoleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan dalam jangka waktu lama.
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan istilah-istilah klien sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral amat terdefinisikan, demikian pula peranan yang jelas dari konselor dan klien.
b.   Rumusan Masalah
1.      Apa landasan historis konsep Pendekatan Behavioristik ?
2.      Bagaimana pandangan tentang manusia menurut Pendekatan Behavioristik?
3.      Bagaimana Hakekat Konseling dalam pendekatan Behavioristik ?
4.      Apa tujuan Konseling dalam pendekatan Behavioristik?
5.      Bagaimana karakteristik pendekatan Behavioristik ?
6.      Apa saja peran dan fungsi konselor ?
7.      Bagaimana hubungan konselor dengan konseli ?
8.      Apa saja tahap-tahap konseling Behavioristik ?
9.      Apa saja teknik-teknik dalam pendekatan Behavioristik ?
10.  Apa saja kelebihan dan keterbatasan pendekatan Behavioristik?
11.  Bagaimana asumsi perilaku bermasalah dalam pendekatan Behavioristik?
12.  Contoh kasus apa dan bagaimana cara penanganannya dalam pendekatan Behavioristik ?
13.  Apa saja ciri khusus konseling dalam pendekatan Behavioristik ?
c.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui landasan historis konsep Pendekatan Behavioristik.
2.      Untuk memahami pandangan tentang manusia menurut Pendekatan Behavioristik.
3.      Untuk mengetahui Hakekat Konseling dalam pendekatan Behavioristik.
4.      Untuk mengetahui tujuan Konseling dalam pendekatan Behavioristik.
5.      Untuk memahami karakteristik pendekatan Behavioristik.
6.      Untuk mengetahui peran dan fungsi konselor.
7.      Untuk dapat memahami hubungan konselor dengan konseli.
8.      Untuk mengetahui tahap-tahap konseling Behavioristik.
9.      Untuk mengetahui teknik-teknik dalam pendekatan Behavioristik.
10.  Untuk mengetahui kelebihan dan keterbatasan pendekatan Behavioristik.
11.  Untuk memahami asumsi perilaku bermasalah dalam pendekatan Behavioristik.
12.  Untuk mengetahui Contoh kasus apa dan bagaimana cara penanganannya dalam pendekatan Behavioristik.
13.  Untuk mengetahui ciri khusus konseling dalam pendekatan Behavioristik.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Historis konsep Behavioristik
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Konseling behavioristik membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling.
Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh freud. Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Karakteristik konseling behavioral adalah :
a. Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
Pendekatan ini tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus, hal utama yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam konseling ini adalah menyaring dan memisahkan tingkah laku yang bermasalah itu dan membatasi secara khusus perubahan apa  yang dikehendaki.
b.Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling.
Dalam hal ini, tugas konselor adalah membantu merinci dan memilih tujuan umum menjadi tujuan khusus, konkrit, dan dapat diukur.
c. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien.
Teknik-teknik tingkah laku berorientasi pada tindakan, oleh karena itu klien diharapkan melakukan sesuatu bukan hanya memperhatikan secara pasif dan terlena dalam instropeksi saja. Klien harus diajar untuk melakukan tindakan khusus apabila perubahan tingkah laku klien diharapkan.

d.       Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Sasaran tingkah laku yang akan diubah sudah diidentifikasi secara jelas, tujuan perlakuan telah dirumuskan secara khusus, dan prosedur terapeutikpun telah dirinci secara sistematik. Keputusan untuk menggunakan suatu teknik didasarkan atas keberhasilan teknik itu dalam mendatangkan hasil, yaitu tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.

B.     Hakekat Manusia Menurut Pendekatan Behavioristik
Pendekatan behavioral tidak mengesampingkan pentingnya hubungan klien/terapis atau potensi klien untuk membuat pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut, dapat dikemukakan beberapa konsep kunci tentang hakikat manusia sebagai berikut :
a. Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan dan belajar. Terbentuknya tingkah laku, baik positif maupun negatif diperoleh dari belajar.
b. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungannya. Interaksi yang dapat diamati antara individu dengan lingkungan, interaksi ini ditentukan bentuknya oleh tujuan, baik yang berasal dari diri pribadi maupun yang dipaksakan oleh lingkungan.
c.  Setiap orang lahir dengan membawa kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari interaksi dengan lingkungan. Mula-mula individu banyak tergantung pada sumber kepuasan eksternal, namun semakin matang kekuatan penguat internal semakin penting.
d. Manusia bukanlah hasil dari conditioning sosial/kultural mereka, namun sebaliknya manusia adalah produser (penghasil) dan hasil dari lingkungannya. Kecenderungan saat ini adalah mengarah pada prosedur perkembangan yang nyata memberikan pengontrolan pada diri para klien.
e.  Manusia tidak lahir baik atau jahat tetapi netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan tergantung pada interaksinya dengan lingkungan. Dengan kata lain, dapat saja manusia menjadi baik atau sebaliknya tergantung dari bagaimana ia belajar dalam interaksi dengan lingkungan.
f. Manusia mempunyai tugas untuk berkembang, dan semua tugas perkembang yang harus diselesaikan dengan belajar. Hidup adalah serangkaian tugas yang dipelajari. Keberhasilan belajar akan menimbulkan suatu kepuasan, sedangkan kegagalan berakibat ketidakpuasan dan penolakan sosial.

C.    Hakekat Konseling Behavioristik
Hakekat konseling menurut Behavioral adalah proses membantu orang dalam situasi kelompok belajar bagaimana menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan pengambilan keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri untuk mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Konseling dilakukan dengan menggunakan prosedur tertentu dan sistematis yang disengaja secara khusus untuk mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama konselor dan konseli. Prosedur konseling dalam pendekatan behavior adalah ; penyusunan kontrak, asesmen, penyusunan tujuan, implementasi strategi, dan eveluasi perilaku. Dengan prosedur tersebut konseling/terapi behavior berorientasi pada pengubahan tingkah laku yang maladaptif menjadi adaptif.
Konseling identik dengan pemberian bantuan, penyuluhan dan hubungan timbal balik antara konselor (yang memberikan konseling) dan konseli (yang membutuhkan bantuan/klien). Menurut Patterson, konseling memiliki ciri khas yang merupakan hakekat konseling. Ciri-ciri itu adalah:
1.    Konseling berurusan dengan upaya mempengaruhi perubahan tingkah laku secara sadar pada pihak klien (klien mau mengubahnya dan mencari bantuan konselor bagi perubahan ini).
2.    Tujuan konseling adalah mendapatkan kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan secara sadar (kondisi-kondisi dimaksud berupa hak-hak individual untuk membuat pilihan, untuk mandiri dan “berswatantra”, autonomous).
3.    Sebagaimana dalam sebuah hubungan, terdapat pembatasan-pembatasan tertentu bagi konseli (pembatasan-pembatasan ditentukan oleh tujuan-tujuan konseling yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan falsafah konselor).
4. Kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan tingkah laku diperoleh melalui wawancara-wawancara (tidak seluruh konseling adalah wawancara, tetapi konseling selalu melibatkan wawancara).
5.    Mendengarkan (dengan penuh perhatian) berlangsung dalam konseling tapi tidak seluruh konseling melulu mendengarkan.
6. Konselor memahami kliennya (perbedaan antara cara orang-orang lain dengan cara konselor dalam melakukan pemahaman lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif dan pemahaman belaka tidak menjadi pembeda antara situasi konseling dengan situasi lain).
7. Keberadaan konseling bersifat pribadi (privacy) dan diskusi atau pembicaraan bersifat rahasia, dasarnya bersifat rahasia (confidential).

D.    Tujuan Konseling Behavioristik
Tujuan konseling behavior adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat  membuat ke tidak puasan dalam jangka panjang atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
Tujuan konseling behavior adalah untuk membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang merusak diri, dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat.
Jadi tujuan konseling behaviour adalah untuk memperoleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan dalam jangka waktu lama. Adapun tujuan umumnya yaitu menciptakan  kondisi baru untuk belajar. Dengan asumsi bahwa pembelajaran dapat memperbaiki masalah perilaku.
Tujuan umum dari suatu terapi perilaku ialah membentuk kondisi baru untuk belajar, karena melalui proses belajar dapat mengatasi masalah yang ada. Mengenai tujuan terapi perilaku, Corey (1991) mengingatkan ada 2 konsepsi yang salah:
a)    Bahwa tujuan tarapi adalah memindahkan gejala yang menjadi masalah dan karena itu akan muncul gejala yang baru,karena akar dari persoalannya tidak hilang.Hal ini dinilai tidak benar,karena terapi memusatkan perhatian pada usaha menghilangkan perilaku yang tidak sesuai denag perilaku yang sesuai.perhatian tertuju pada perilaku yang terjadi pada saat sekarang dan apa yang bisa untuk mengubahnya.
b)   Konsepsi lain yang salah ialah bahwa tujuan pasien atau klien ditentukan atau dipaksakan oleh terapisnya. Padahal tujuan atau konsepsi yang baru melibatkan pasien atau klien (aspek kognitifnya) untuk ikut menentukan pilihan apa sasaran atau tujuan yang diinginkan.
Jika tujuan terapi dirumuskan dengan jelas, pasien atau klien akan bisa memperlihatkan kerja samanya dalam ikut mengarahkan tujuan dari terapi. Kecuali itu dengan perumusan tujuan yang jelas, memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap hasilnya.
Teknik-teknik behavioristik tidak mengancam untuk menghapuskan atau mengurangi kebebasan memilih. Tujuan-tujuan dari konseling behavioristik adalah :
·      Upaya menolong diri sendiri (self-help).
·       Meningkatkan ketrampilan-ketrampilan sosial klien.
·       Memperbaiki tingkah laku yang menyimpang dari klien.
·         Membantu setiap klien dalam mengembangkan suatu sistem pengaturan diri (self-management).
·      Klien dapat mengontrol nasibnya sendiri (self-control) baik didalam konseling maupun diluar situasi konseling.
Tujuan menurut krumboltz hendaknya memperhatikan kriteria berikut :
·      Tujuan harus diinginkan klien.
·      Konselor harus beringinan untuk membantu klien mencapai tujuan.
·      Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dinilai pencapainya oleh klien.
Ada tiga fungsi tujuan konseling behavior, yaitu :
1.Sebagai refleksi masalah klien dan dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling.
2.Sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling,
3.Sebagai kerangka untuk menilai konseling.
Tujuan konseling behavior berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli, yang di antaranya :
1.Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar
2.Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
3.Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
4.Membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
5.Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptive, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
6.Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
Konselor perlu meyakinkan konseli bahwa kebahagiaannya bukan terletak pada proses konseling tetapi pada perilaku dan keputusannya dan konseli adalah pihak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

E.     Karakteristik Behavioristik
1.   Karakteristik konseling
Karakteristik konseling behavioral adalah sebagai berikut :
·      Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat pula dirubah.
·      Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang releven, prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang releven dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.
·      Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social Modeling” dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
·      Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar dari layanan konseling yang diberikan.
·      Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus di desain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.
2.   Karakteristik konselor
Didalam konseling behavioral ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki konselor untuk mencapai tujuan dalam proses konseling yaitu :
·      Konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapa memenuhi kebutuhannya.
·      Konselor harus kuat, yakin, dia harus dapat menahan tekanan dari permintaan klien untuk simpati atau membenarkan perilakunya tidak pernah menerima alasan-alasan dari perilaku irasional konseli.
·      Konselor harus sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilak orang lain.
·      Konselor harus dapat bertukar pikiran dengan konseli tentang perjuangannya dapat melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertanggung jawab termasuk ada saat yang sulit.
3.   Karekteristik Konseli
Didalam konseling behavioral terdapat adanya peran konseli yang ditentukan dengan baik dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses konseling. Keterlibatan konseli dalam proses konseling dalam kenyataannya menjadi lebih aktif dan tidak hanya sebagai penerima teknik-teknik yang pasif. Konseli didorong untuk berekspresimen dengan tingkah laku yang baru sebagai pengganti tingkah laku yang salah suai.

F.     Peran dan Fungsi Konselor Behavioristik
Hakikatnya  fungsi dan peranan  konselor  terhadap  konseli  dalam  teori  behavioral  ini adalah  :
1)      Mengaplikasikan  prinsip  dari  mempelajari  manusia  untuk  memberi fasilitas  pada  penggantian  perilaku  maladaptif  dengan  perilaku  yang  lebih adaptif.
2)      Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan  seseorang dari  perilaku yang  mengganggu  kehidupan  yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki  sepanjang sasaran itu  sesuai  dengan  kebaikan masyarakat secara umum.

G.    Hubungan Konselor dengan Konseli dalam Pendekatan Behavioristik
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan istilah-istilah klien sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral amat terdefinisikan, demikian pula peranan yang jelas dari konselor dan klien.
Klien harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktifitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun di luar konseling.Dalam hubungan konselor dengan klien beberapa hal di bawah ini harus dilakukan:
a. konselor memahami dan menerima klien;
b. keduanya bekerjasama;
c. konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan klien.

H.    Tahap Konseling Behavioristik
Berbicara tentang langkah-langkah dasar/tahap-tahap dalam proses konseling ditemukan sejumlah bagian yang berbeda-beda. Mengapa identifikasi ini dilakukan adalah untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan konseling. Walaupun pembagiannya berbeda-beda dapat ditemukan lima tahap pokok yakni :
a)   Assesment
Langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya).
Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
b)   Goal setting
Yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
(a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien
(b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling
(c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : 
1. apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien
2. apakah tujuan itu realistik
3. kemungkinan manfaatnya
4. kemungkinan kerugiannya
5. Konselor dan klien membuat keputusan apakah melanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai atau melakukan referal.

c)      Technique implementation
yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
d)     Evaluation termination
yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
e)      Feedback
yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.

I.       Teknik-teknik Konseling Behavioristik
Seorang konselor harus memberikan rambu-rambu terhadap nilai atau keyakinan yang konseli anut, membangkitkannya, mengingatkannya, kemudian bersama-sama menemukan penjelasan dan bukti, resiko, data dan informasi kehidupan yang ia hadapi. Barulah konseli diajarkan membuat keputusan, pilihan dan ketegasan sikap terhadap masalah yang ia hadapi.
Dengan kata lain konseli memahami dengan sendirinya perbedaan-perbedaan dan keputusan yang ia ambil dengan sendirinya. Dan diharapkan konseli mempunyai keterampilan ketegasan diri dalam menghadapi sebuah pilihan atau masalah hidup. Teknik yang digunakan :
1.   Desensitisasi Sistematis
Mc. Kay (1981) menjelaskan bahwa desensitisasi merupakan alat yang dikembangkan untuk menurunkan kecemasan dengan menggantikan kecemasan tersebut melalui respon alternative yang berlawanan seperti relaksasi. Teknik ini bekerja atas dasar prinsip reciprocal inhabitation (hambatan hubungan timbal balik) yaitu proses dimana suatu tingkat kecemasan yang berlebihan dihambat dengan kecemasan.
Menurut Corsini dan Wedding (1989). Desensitisasi merupakan teknik relaksasi yang berdasarkan pada imagery atau yang sering disebut dengan imagery Based Techniques. Desensitisasi merupakan perlakuan yang tepat bagi reaksi cemas yang tidak realistis serta reaksi cemas yang tidak terjadi karena seseorang tidak mengetahui bagaimana berperilaku dalam situasi yang menimbulkan indikator dari aktivitas para simpatis. Proses ini digambarkan oleh Wolpe sebagai counter conditioning.
Proses Desensitisasi:
a.  Klien Individual.
b. Klien Kelompok.
2.   Terapi Impulsif.
 Dalam kamus Psikologi (J.P. Chaplin) terapi implusif adalah salah satu terapi tingkah laku dimana disajikan perangsang-perangsang yang dapat menimbulkan kecemasan dalam imajinasi, sedang pasien didorong dan diberanikan untuk mengalami kecemasan itu sehebat-hebatnya atau sedalam mungkin. Karena situasinya tidak mengandung bahaya yang objektif, maka reaksi kecemasannya tidak diperkuat, dan secara berangsur-angsur dapat dimusnahkan atau dipadamkan.
Terapi ini dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi pemicu kecemasan dan hal-hal yang menakutkan ternyata konsekuensi yang diharapkan tidak muncul, akhirnya stimulus yang mengancam tidak memiliki kekuatan dan neurotiknya menjadi hilang.
3.   Latihan Perilaku Asertif
Latihan asertif dalam terapi tingkah laku merupakan teknik yang dipakai terapis dengan menggunakan model-model pola tingkah laku yang tegas bagi kliennya. Latihan ini berguna untuk membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan “tidak”, atau mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya.  
Cara yang digunakan adalah permainan peran dengan bimbingan konselor dan diskusi kelompok.
4.   Pengkondisian Aversi
Teknik pengkondisian aversi digunakan untuk meredakan perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan sehingga perilaku yang tidak diinginkan tidak muncul. Stimulus yang tidak menyenangkan diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan sengatan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual.Perilaku yang dapat dimodifikasi dengan teknik pengkondisian aversi adalah perilaku maladaptif, seperti merokok, obsesi kompulsi, penggunaan zat adiktif, penyimpangan seksual.
5.      Pembentukan Perilaku Model.
Modeling dapat digunakan sebagai pembentukan perilaku baru dan mempertahankan atau memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam teknik ini peran konselor difungsikan sebagai penunjuk perilaku model yang harus ditiru. Sarana yang bisa dipakai sebagai model dapat dilakukan dengan model audio, model fisik, model hidup atau model lainnya yang dapat dicontoh. Setelah itu klien diberi reinforcement jika dia dapat meniru perilaku model tersebut.
6.      Kontrak Perilaku.
Kontrak Perilaku didasarkan pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak Perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil.

J. Kelebihan dan Keterbatasan Konseling Behavioristik
Setiap teori yang ada pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, kelebihan dan kekurangan teori behavioristik dintaranya :
Ø  Kelebihan :
v Telah mengembangkan konseling sebagai ilmu karena mengundang penelitian dan menerapkan IPTEK kepada proses konseling
v Pengembangan prilaku yang spesifik sebagai hasil konseling yang dapat diukur
v Memberikan ilustrasi bagaimana keterbatasan lingkungan
v Penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan pada perilaku sekarang dan bukan prilaku yang ada dimasa lalu.
Ø  Kelemahan :
v Bersifat dingin, kurang menyentuh aspek pribadi sifat manipulatif dan mengabaikan hubungan pribadi
v  Lebih konsentrasi pada teknik
v  Pemilihan tujuan sering ditentukan oleh konselor
v Meskipun konselor behaviour menegaskan klien unik dan menuntut perlakuan yang spesifik tapi masalah klien sering sama dengan klien yang lain dan karena itu tidak menuntut strategi konseling.
v Konstruk belajar dikembangkan dan digunakan konselor behavioral tidak cukup komprehensif untuk menjelaskan belajar dan harus dipandang hanya sebagai hipotesis harus dites.

K.    Asumsi Perilaku Bermasalah Behavioristik
Dilihat dari sudut pandang behavioris, perilaku bermasalah dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan yang negatif atau dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Munculnya perilaku bermasalah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: adanya salah penyesuaian melalui proses interaksi dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang salah dalam rumah tangga, lingkungan sekolah, tempat bermain dan lain-lain. Seperti halnya kehidupan di kota-kota besar pada saat ini begitu kompleks dan bervariasi.Sikap hidup menjadi individualistis, egois, apatis dan hubungan sosial menjadi renggang.
Dalam suasana hidup seperti di atas, banyak orang menggunakan mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Untuk dapat bertahan dan menghindari kesulitan hidup tidak sedikit terjadi tindakan kriminal. Bentuk mekanisme yang negatif menyebabkan timbulnya tingkah laku yang tidak normal (patologis).
Terbentuknya suatu perilaku dikarenakan adanya pembelajaran, perilaku itu akan dipertahankan atau dihilangkan tergantung pada konsekuensi yang menyertainya. Misalnya perilaku merusak (destructif) di kelas dapat bertahan karena adanya ganjaran (reinforcement) berupa pujian dan dukungan dari sebagian teman-temannya dan merasa puas dengan ganjaran itu, sedangkan hukuman (punishment) yang diberikan oleh guru tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan ganjaran yang diperolehnya.
Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi jika pemberian ganjaran atau hukuman dapat diberikan secara tepat. Terbentuknya perilaku yang dicontohkan di atas disebabkan karena adanya peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi - konsekuensi yang mengikuti dari suatu perilaku dan hal itu termasuk dalam teori belajar perilaku operan dari Skinner.
Selain teori belajar Skinner, Bandura juga mencontohkan perilaku agresif di kalangan anak-anak.Timbulnya perilaku bermasalah yang ditandai dengan tindakan melukai atau menyerang baik secara fisik maupun verbal, dikarenakan adanya proses mencontoh atau modeling baik secara langsung yang disebut imitasi atau melalui pengamatan tidak langsung (vicarious).
Misalnya anak bersikap agresif karena sering dipukuli atau anak sering melihat orang tuanya bertengkar bahkan lewat media televisi anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat kekerasan.Perilaku yang salah dalam penyesuaian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu tidak wajar dipandang, dengan kata lain perilaku dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuasan bagi individu atau akhirnya membawa individu pada konflik dengan lingkunganya.
Rasa puas yang dirasakan bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena boleh jadi perilaku itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih panjang.
Konseling behavioral digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan perilaku-perilaku maladaptif. perilaku yang bermasalah dalam pandangan behaviorist dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.  Sedangkan menurut Feist & Feist (2008: 398) menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat meliputi:
1.    Perilaku terlalu bersemangat yang tidak sesuai denga situasi yang dihadapi, tetapi mungkin cocok jika dilihat berdasarkan sejarah masa lalunya.
2.    Perilaku yang terlalu kaku, digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak diinginkan terkait dengan hukuman.
3.    Perilaku yang memblokir realitas, yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak diinginkan.
4.    Pengetahuan akan kelemahan diri yang termanifestasikan dalam respon-respon-respon menipu diri.

L.     Contoh Kasus dan Penanganannya
STUDI KASUS
Aprilia Dwi Lestari merupakan salah satu siswa yang baru saja beranjak dari SMP menuju SMA. Ia masuk ke sekolah ternama di Tuban, yaitu SMA N 1 TUBAN. Padahal ia berasal dari keluarga yang tergolong menengah ke bawah. Awalnya orang tua April tidak memperbolehkannya masuk ke sekolah tersebut karena takut tidak mampu untuk membayar hingga lulus nanti. Namun, April terus memaksa sehingga orang tuanya mengizinkan.
Setelah beberapa lama berada disekolah itu, ia merasa mendapat deskriminasi dari teman-temannya. Ia diejek karena berasal dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan, teman-temannya senang sekali menjahili April. Sedikit demi sedikit, April mulai merasa dikucilkan. Awalnya, ia tidak terpengaruh dan tetap berprilaku biasa. Namun, lama-kelamaan ia mulai merasa muak dengan keadaan yang ada. Perilaku teman-temannya mulai membuat April tidak fokus, dan prestasi belajarnya mulai menurun. Ini membuat April selalu stress dan merubah dirinya menjadi siswa yang amat nakal.
Di kelas April selalu duduk paling belakang, suka membuat gaduh, tidak memperhatikan materi yang disampaikan guru, bermain-main HP, dan terkadang sampai tertidur. Di rumah pun ia berperilaku yang sama. Dia tidak menghiraukan nasehat orang tuannya yang menyuruhnya belajar. Dia suka keluyuran tidak jelas. April menjadi malas belajar, tidak pernah mengerjakan tugas.
Suatu saat guru memberikan ulangan mendadak, ia mengerjakan sebisanya dan akhirnya mendapat nilai yang paling bawah. Saat guru tersebut bertanya mengenai materi minggu lalu, ia tidak pernah bisa menjawab. Mengetahui hal itu, April tetap tenang dan sama sekali tidak merubah kebiasaannya. Kurangnya ketegasan, bimbingan, motivasi, dan perhatian seorang guru dan orang tua dalam menyikapi anak didiknya yang bermasalah bisa menjadikan siswa menjadi nakal dan kurang bisa menghargai guru saat KBM berlangsung.

PEMECAHAN STUDI KASUS
Menurut kami pemecahan studi kasus yang dialami siswa yang bernama Aprilia Dwi Lestari ini cocok menggunakan Teori Behavioristik, yaitu sebuah teori yang segala sesuatunya dibiasakan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Jika kami menjadi guru April, maka kami akan mendekati dia (memberikan perhatian khusus), tetapi hal itu tidak diperlihatkan kepada siswa yang lain. Menegur siswa-siswa yang suka mengejek, dan suka mengucilkan. Memberikan bimbingan melalui diskusi-diskusi kecil di dalam kelas (diskusi siswa), mencoba untuk mengungkapkan pendapat satu sama lain, menukar informasi dengan anggota kelompoknya.
Selain itu, diawal dan akhir pertemuan selalu diadakan pengulangan materi yang berupa pertanyaan-pertanyaan atau kuis kepada masing-masing siswa, sehingga materi yang disampaikan pada saat itu maupun minggu lalu benar-benar bisa diterima dan tidak hanya pada shot term memory, tetapi juga sampai pada long term memory. Jika siswa tidak bisa menjawab, maka akan ada hukuman berupa berdiri di depan kelas, menyanyi, bahkan diberikan tugas khusus. Bersedia atau tidak, peserta didik akan belajar agar tidak mendapat hukuman. Tanpa disuruh belajarpun, mereka akan tetap belajar karena takut dihukum.
Inilah teori behavioristik bahwa segala sesuatu harus dipaksakan. Pihak keluarga khususnya orang tua lebih memperhatikan anaknya, seorang anak dipaksakan untuk belajar. Jika tidak bersedia, maka uang jajan akan dikurangi. Dengan demikian, adanya paksaan-paksaan akan menjadikan suatu kebiasaan pada diri siswa.

M.   Ciri Khusus Konseling Behavioristik
Pendekatan Behavioralistik dalam konseling memiliki beberapa keunikan dianataranya adalah :
-       Fokus pada masalah yang terjadi pada saat ini.
-       Secara langsung berhubungan dengan simtom-simtom (gejala-gejala).
-       Memiliki beberapa teknik yang dapat digunakan oleh konselor.
-       Berdasarkan pada teori belajar.
-       Didukung dengan riset yang bagus tentang bagaimana teknik behavioral mempengaruhi proses konseling.
-       Pendekatan ini bersifat objektif dalam mendefinisikan dan memahami suatu  masalah.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Hakekat konseling menurut Behavioral adalah proses membantu orang dalam situasi kelompok belajar bagaimana menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan pengambilan keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri untuk mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Tujuan konseling behaviour adalah untuk memperoleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan dalam jangka waktu lama.
Saran
Dengan adanya teori tentang pendekatan behavioristik diharapkan agar mampu untuk memahami secara secara detail apa konseling behavioristik yang sebenarnya, tujuan, serta hakekattentang manusia, karakteristik dan peran serta fungsi konselor hingga dapat memahami hubungan konselor dengan konseli, tahap dan teknik konseling bahkan diharapkan mampu menanggapi kelebihan dan keterbatasan serta asumsi perilaku bermasalah serta cirri khusus yang ada pada konseling behavioristik.







DAFTAR PUSTAKA
Corey, Geral. 2010. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama



0 komentar:

Posting Komentar

Anisah_BK4D. Diberdayakan oleh Blogger.